Dilema Outsourcing
(Konsep dan Implementasi)
Oleh: Andika Asykar
A. Pendahuluan
Untuk memudahkan semua investor dalam
menyerap tenaga kerja, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro investasi
khususnya tentang penyerapan tenaga kerja yaitu dengan dengan mengeluarkan
kebijakan “Sistem Kerja Kontrak” dan “Sistem Outsourcing”
(Kerja Pemborongan)labor market flexibility (pasar buruh lentur), yang diatur
dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tepatnya pada pasal 56-60
(Kerja Kontrak), 64-66 (Outsourcing).
Padahal, awalnya, semangat pemerintah mengeluarkan pasal-pasal tersebut agar
terjadi kondusifitas hubungan antara buruh dan pengusaha sehingga membuat para
investor bersedia menanamkan investasinya di Indonesia, yang kemudian akan
diharapkan banyak menyerap tenaga kerja baru.
Pada awal kebijakan ini dikeluarkan,
keadaan yang selama ini diharapkan oleh pemerintah memang muncul yaitu banyak
investor yang mendirikan pabrik-pabrik yang berimplikasi pada naiknya jumlah
penyerapan tenaga kerja sehingga cukup bisa mengurangi jumlah pengangguran.
Namun, seiring berjalannya waktu tak sedikit perusahaan-perusahaan yang
kemudian tetap menjalankan “sistem outsourcing”
tapi tak mengindahkan peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah.
Sangat jelas bahwa telah terjadi disimplementasi kebijakan yang dilakukan oleh
perusahaan. Hal ini, membuat pihak pekerja atau buruh yang dirugikan karena
hak-hak mereka dikesampingkan oleh para pemilik modal yang ingin mencari
keuntungan belaka. Untuk itu, menarik kiranya untuk mengkaji Bagaimana
Kebijakan Outsourcing di Indonesia?
A. Pembahasan
1. Aturan Outsourcing
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru (Orba),
sudah menjadi budaya rutin setiap tanggal 1 Mei digunakan untuk merayakan hari
buruh internasional atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Mayday” oleh semua
buruh di Indonesia .
Setiap perayaan hari buruh sudah menjadi hal yang lazim diwarnai dengan
berbagai aksi long march dan demonstrasi di seluruh pelosok
nusantara. Sejumlah konfederasi serikat pekerja seperti KSPI, KSPSI, KSBSI dan
KASBI menggunakan momen tersebut untuk menyuarakan hak-hak mereka. Isu penting
yang menjadi titik berat pada aksi 01 Mei 2012 adalah penghapusan sistem outsourcing. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa semangat yang diemban oleh pemerintah dalam mengeluarkan
sistem Outsourcing ini baik, tetapi justru pada
perayaan May Day beberapa hari yang lalu justru banyak para buruh yang
meneriakan penolakan pada sistem tersebut.
Untuk mengetahui detail mengapa
kebijakan outsourcing itu menyimpang di lapangan perlu
dilihat kembali konsep yang ada dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, khususnya mengenai sistem outsourcing dalam skema pasar buruh lentur
diterjemahkan melalui pasal 64-66. Berikut rumusan sebagian pasalnya yang
perlu dicermati:
Tabel I
Skema Aturan Outsourcing
Dalam UU No. 13 Tahun 2003
Outsourcing
|
|
Pasal
64
|
Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau
|
Pasal
65
|
(2)
Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung
atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang
perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara
langsung.
|
Pasal
65
|
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
|
Pasal 66
|
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh tidak
boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi.
|
Pasal
66
|
(4)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a,
huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
|
Source: UU No. 13 Tahun 2003
2. Realita di Lapangan
Beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) telah
mengeluarkan putusan uji materi pada pasal yang mengatur kebijakan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan, adanya
putusan tersebut, sebenarnya justru telah melegitimasi keabsahan outsourcing. MK hanya
menyatakan bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional)
terhadap pasal 65 (7) dan pasal 66 (2) huruf b UU Ketenagakerjaan (Jawa Pos,
18 Januari 2012). Putusan MK tersebut sama sekali tidak membatalkan
ketentuan-ketentuan outsourcing, tetapi hanya memastikan bahwa dalam outsourcing, hak-hak pekerja yang direkrut
melalui sistem outsourcing harus dipenuhi layaknya pekerja utama
perusahaan. Salah satu masalah yang belum mengalami titik temu hingga kini
yaitu antara pekerja/buruh dan pengusaha adalah mengenai penggunaan pekerja
melaui outsourcing. Sistem outsourcing dianggap telah membohongi dan bahkan
mengeksploitasi pekerja/buruh. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah betul
sistem outsourcing yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan
itu melanggar hukum perburuhan? Atau permasalahanan justru ada pada
implementasi outsourcing yang tidak sesuai dengan
perundang-undangan.
Untuk itu ada beberapa hal yang patut
di evaluasi kembali dalam kebijakan tersebut.Dalam Studi Analisis Kebijakan
Publik, maka salah satu cabang bidangkajiannya adalah Evaluasi Kebijakan.
Mengapa Evaluasi Kebijakan dilakukan, karena pada dasarnya setiap kebijakan
negara (public policy)mengandung
resiko untuk mengalami kegagalan. (Abdul Wahab, 1990 : 47-48), mengutip pendapat Hogwood dan Gunn
(1986), selanjutnya menjelaskan bahwa penyebab dari kegagalan suatu kebijakan(policy
failure) dapat dibagi menjadi
2 katagori, yaitu : (1) karena “non implementation” (tidak terimplementasi), dan (2) karena “unsuccessful” (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikannya suatu
kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan di
rencanakan. Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi bila
suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan
mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak menguntungkan, maka kebijakan outsourcing tersebut tidak dapat berhasil dalam
mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki.
Perlu dijelaskan kembali bahwa outsourcing yang ada dalam UU Ketenagakerjaan
(UUK) dipahami sebagai pengalihan pekerjaan oleh perusahaan pengguna kepada
perusahaan penyedia jasa pekerja atau pemborongan. Dalam UUK ditentukan bahwa
pekerjaan yang boleh dialihkan kepada perusahaan outsourcing/perusahaan penyedia
jasa pekerja (PPJP) adalah pekerjaan yang sifatnya menunjang saja. Pekerjaan
utama yang berkaitan dengan proses produksi atau proses berjalannya perusahaan
itu dilarang di-outsourcing-kan. Yang menjadi dasar dibolehkannya outsourcing tersebut adalah untuk tercapainya
efektivitas perusahaan dalam mencapai tujuan kegiatan utama perusahaan
tersebut. Untuk mencapai efektivitas tersebut, pekerjaan yang sifatnya
penunjang dapat dialihkan kepada PPJP. Perusahaan pun bisa berkonsentrasi
kepada kegiatan utama perusahaan. Dengan berkonsentrasi kepada kegiatan utama,
perusahaan bisa memaksimalkan produktivitas.
Ketentuan lain yang harus dipenuhi
untuk outsourcing bahwa perusahaan outsourcingharus dalam bentuk
badan hukum dan memiliki izin operasional sebagai perusahaan outsourcing. Keharusan perusahaan outsourcing berbadan hukum itu adalah untuk
menghindari orang-perorangan melakukan usaha outsourcing sehingga tidak disalahkangunakan
oleh individu-individu yang ingin mencari keuntungan. Selain itu, yang lebih
membahahayakan lagi adalah jika orang-perorangan melakukan usaha outsourcing dapat disamakan dengan usaha
perbudakan, orang dapat menjual orang. Sedangkan tujuan utama perusahaan
penyedia jasa atau layanan outsourcing memiliki izin operasi adalah untuk
memudahkan pengawasan pemerintah atas praktik outsourcing.
Konstruksi hukum outsourcing dalam UUK tersebut sebenarnya sudah
tepat. Bahkan, jika ketentuan-ketentuan yang dalam UUK itu ditaati, outsourcing tidak merugikan pekerja. Namun
demikian, yang terjadi di lapangan adalah banyaknya penyimpangan dan
penyalahgunaan outsourcing oleh perusahaan. Bentuk-bentuk
penyalahgunaan outsourcing tersebut, antara lain, meng-outsourcing-kan
pekerjaan utama kepada perusahaan outsourcing,
perusahaan outsourcing tidak berbadan hukum, tidak
didaftarkannya perjanjian outsourcing di dinas tenaga kerja, dan penyunatan
upah pekerja oleh perusahaan outsourcing.
Penyimpangan pertama, banyaknya
pekerjaan utama yang di-outsourcing-kan. Padahal, UUK sudah secara tegas
melarang meng-outsourcing-kan pekerjaan utama. Betapa bisa kita lihat
penyalahgunaan model itu, misalnya, perusahaan bank yang meng-outsourcing-kan
pekerja teller dancollector kredit serta perusahaan manufaktur
yang juga meng-outsourcing-kan pekerja-pekerja inti dari kegiatan
manufaktur tersebut. Belum lama ini terjadi peristiwa yang mengenaskan. Yakni,
nasabah kartu kredit sebuah bank ternama di Jakarta dianiaya di kantor bank oleh debt collector bank tersebut. Dan diduga, debt collector tersebut adalah pekerja sewaan (outsourcing).
Kejadian pembakaran perusahaan di Drydock Batam adalah contoh yang lain akibat
dari penyimpangan ketentuanoutsourcing (Jawa Pos, 19 Januari 2012).
Penyimpangan kedua, banyak perusahaan outsourcing yang tidak memenuhi syarat. Misalnya,
tidak berbadan hukum maupun tidak memiliki izin operasi. Modus penyimpangan itu
adalah badan usaha yang tidak berbadan hukum, misalnya CV dan firma, ikut
menjalankan usaha outsourcing.Banyak
pula perusahaan outsourcing, meskipun sudah berbadan hukum, tidak
memiliki izin operasi menjalankan usaha outsourcing.
Ketiadaan izin operasi itu menyulitkan pengawasan oleh dinas tenaga kerja
setempat. Sering terjadi perusahaan outsourcing abal-abal tersebut menghilang tanpa
jejak ketika terjadi pelanggaran hak-hak normatif atas pekerja. Pekerja sulit
menuntut hak-haknya setelah menjalankan semua kewajibannya.
Penyimpangan ketiga, terjadinya
pemotongan upah pekerja oleh perusahaan outsourcing.
Banyak terjadi upah para pekerja dipotong oleh perusahaan outsourcing. Padahal, perusahaanoutsourcing telah memperoleh management fee dari perusahaan pengguna. Yang lebih
tragis lagi, jumlah upah setelah dipotong tersebut kurang dari ketentuan jumlah
upah minimum. Itu jelas pelanggaran hukum perburuhan dan bahkan pelakunya bisa
dipidana karena melakukan kejahatan pengupahan. Banyaknya penyalahgunaan outsourcing tersebut menambah panjang penderitan
buruh/ pekerja di sektor formal. Namun demikian, minat buruh untuk bekerja
melalui outsourcing tetap akan membeludak, mengingat
minimnya kesempatan kerja jika dibandingkan dengan jumlah pekerja.
B. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari penjelasan di atas dapat diambil
beberapa poin penting yaitu bahwa sebenarnya semangat yang ingin dibangun oleh
pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan outsourcing itu baik berdasarkan
penjelasan UUK yaitu memberi kemudahan pada perusahaan agar bisa merekrut
pekerja yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan utama menggunakan
sistem outsourcing. Namun, implementasinya banyak
perusahaan yang kemudian menyimpang dari apa yang telah diatur dalam UUK
misalnya: banyaknya pekerjaan utama yang di-outsourcing-kan. Padahal,
UUK sudah secara tegas melarang meng-outsourcing-kan pekerjaan utama,
banyak perusahaan outsourcing yang tak berbadan hukum, banyak
pemotongan upah yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing.
Karena itu dalam hal ini penulis
memberi rekomendasi yaitu jalan terbaik untuk mengatasi masalah tersebut adalah
mengoptimalkan pengawasan dari pemerintah, dalam hal ini dilakukan dinas tenaga
kerja setempat.Fungsi pengawasan pemerintah adalah untuk memastikan
implementasi ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur outsourcing sesuai dengan perundang-undangan
bidang hukum perburuhan. Sebab, yang menjadi akar masalah adalah bukan norma
yang mengaturoutsourcing, melainkan
masalah implementasinya. Ketentuan outsourcing dalam UUK sudah baik, hanya
pengimplementasiannya yang disalahgunakan dan disimpangi oleh pengusaha.
Http://nasional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.Penghapusan.Outsourcing