Minggu, 30 September 2012

Dilema Outsourcing


Dilema Outsourcing
(Konsep dan Implementasi)
Oleh: Andika Asykar
        A.    Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara Asia Tenggara yang paling diminati oleh para investor dari negara lain. Hal tersebut membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Banyak industri-industri besar yang berdiri di Indonesia. Kemudahan memperoleh bahan baku yang murah, mudahnya menyerap tenaga kerja menjadi alasan mereka untuk mendirikan industri di Indonesia. Pekerja atau buruh menjadi salah satu elemen penting yang dapat menggerakan roda perekonomian disuatu negara, karena tanpa kelas pekerja seperti buruh sebuah industri tidak akan mampu menjalankan kegiatan produksinya.
Untuk memudahkan semua investor dalam menyerap tenaga kerja, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro investasi khususnya tentang penyerapan tenaga kerja yaitu dengan dengan mengeluarkan kebijakan “Sistem Kerja Kontrak” dan “Sistem Outsourcing” (Kerja Pemborongan)labor market flexibility (pasar buruh lentur), yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tepatnya pada pasal 56-60 (Kerja Kontrak), 64-66 (Outsourcing). Padahal, awalnya, semangat pemerintah mengeluarkan pasal-pasal tersebut agar terjadi kondusifitas hubungan antara buruh dan pengusaha sehingga membuat para investor bersedia menanamkan investasinya di Indonesia, yang kemudian akan diharapkan banyak menyerap tenaga kerja baru.
Pada awal kebijakan ini dikeluarkan, keadaan yang selama ini diharapkan oleh pemerintah memang muncul yaitu banyak investor yang mendirikan pabrik-pabrik yang berimplikasi pada naiknya jumlah penyerapan tenaga kerja sehingga cukup bisa mengurangi jumlah pengangguran. Namun, seiring berjalannya waktu tak sedikit perusahaan-perusahaan yang kemudian tetap menjalankan “sistem outsourcing” tapi tak mengindahkan peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Sangat jelas bahwa telah terjadi disimplementasi kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan. Hal ini, membuat pihak pekerja atau buruh yang dirugikan karena hak-hak mereka dikesampingkan oleh para pemilik modal yang ingin mencari keuntungan belaka. Untuk itu, menarik kiranya untuk mengkaji Bagaimana  Kebijakan Outsourcing di Indonesia?
A.    Pembahasan

            1.   Aturan Outsourcing
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru (Orba), sudah menjadi budaya rutin setiap tanggal 1 Mei digunakan untuk merayakan hari buruh internasional atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Mayday” oleh semua buruh di Indonesia. Setiap perayaan hari buruh sudah menjadi hal yang lazim diwarnai dengan berbagai aksi long march dan demonstrasi di seluruh pelosok nusantara. Sejumlah konfederasi serikat pekerja seperti KSPI, KSPSI, KSBSI dan KASBI menggunakan momen tersebut untuk menyuarakan hak-hak mereka. Isu penting yang menjadi titik berat pada aksi 01 Mei 2012 adalah penghapusan sistem outsourcing. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa  semangat yang diemban oleh pemerintah dalam mengeluarkan sistem Outsourcing ini baik, tetapi justru pada perayaan May Day beberapa hari yang lalu justru banyak para buruh yang meneriakan penolakan pada sistem tersebut.

Untuk mengetahui detail mengapa kebijakan outsourcing itu menyimpang di lapangan perlu dilihat kembali konsep yang ada dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya mengenai sistem outsourcing dalam skema pasar buruh lentur diterjemahkan melalui pasal  64-66. Berikut rumusan sebagian pasalnya yang perlu dicermati:

Tabel I
Skema Aturan Outsourcing
Dalam UU No. 13 Tahun 2003
Outsourcing
Pasal 64
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
Pasal 65

 (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Pasal 65
 (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
Pasal 66
 (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Pasal 66
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
            Source: UU No. 13 Tahun 2003
       2.      Realita di Lapangan
Beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan uji materi pada pasal yang mengatur kebijakan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan, adanya putusan tersebut, sebenarnya justru telah melegitimasi keabsahan outsourcing. MK hanya menyatakan bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) terhadap pasal 65 (7) dan pasal 66 (2) huruf b UU Ketenagakerjaan (Jawa Pos, 18 Januari 2012). Putusan MK tersebut sama sekali tidak membatalkan ketentuan-ketentuan outsourcing, tetapi hanya memastikan bahwa dalam outsourcing, hak-hak pekerja yang direkrut melalui sistem outsourcing harus dipenuhi layaknya pekerja utama perusahaan. Salah satu masalah yang belum mengalami titik temu hingga kini yaitu antara pekerja/buruh dan pengusaha adalah mengenai penggunaan pekerja melaui outsourcing. Sistem outsourcing dianggap telah membohongi dan bahkan mengeksploitasi pekerja/buruh. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah betul sistem outsourcing yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan itu melanggar hukum perburuhan? Atau permasalahanan justru ada pada implementasi outsourcing yang tidak sesuai dengan perundang-undangan.
Untuk itu ada beberapa hal yang patut di evaluasi kembali dalam kebijakan tersebut.Dalam Studi Analisis Kebijakan Publik, maka salah satu cabang bidangkajiannya adalah Evaluasi Kebijakan. Mengapa Evaluasi Kebijakan dilakukan, karena pada dasarnya setiap kebijakan negara (public policy)mengandung resiko untuk mengalami kegagalan. (Abdul Wahab, 1990 : 47-48), mengutip pendapat Hogwood dan Gunn (1986), selanjutnya menjelaskan bahwa penyebab dari kegagalan suatu kebijakan(policy failure) dapat dibagi menjadi 2 katagori, yaitu : (1) karena “non implementation” (tidak terimplementasi), dan (2) karena “unsuccessful” (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikannya suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan di rencanakan. Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi bila suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak menguntungkan, maka kebijakan outsourcing tersebut tidak dapat berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki.
Perlu dijelaskan kembali bahwa outsourcing yang ada dalam UU Ketenagakerjaan (UUK) dipahami sebagai pengalihan pekerjaan oleh perusahaan pengguna kepada perusahaan penyedia jasa pekerja atau pemborongan. Dalam UUK ditentukan bahwa pekerjaan yang boleh dialihkan kepada perusahaan outsourcing/perusahaan penyedia jasa pekerja (PPJP) adalah pekerjaan yang sifatnya menunjang saja. Pekerjaan utama yang berkaitan dengan proses produksi atau proses berjalannya perusahaan itu dilarang di-outsourcing-kan. Yang menjadi dasar dibolehkannya outsourcing tersebut adalah untuk tercapainya efektivitas perusahaan dalam mencapai tujuan kegiatan utama perusahaan tersebut. Untuk mencapai efektivitas tersebut, pekerjaan yang sifatnya penunjang dapat dialihkan kepada PPJP. Perusahaan pun bisa berkonsentrasi kepada kegiatan utama perusahaan. Dengan berkonsentrasi kepada kegiatan utama, perusahaan bisa memaksimalkan produktivitas.
Ketentuan lain yang harus dipenuhi untuk outsourcing bahwa perusahaan outsourcingharus dalam bentuk badan hukum dan memiliki izin operasional sebagai perusahaan outsourcing. Keharusan perusahaan outsourcing berbadan hukum itu adalah untuk menghindari orang-perorangan melakukan usaha outsourcing sehingga tidak disalahkangunakan oleh individu-individu yang ingin mencari keuntungan. Selain itu, yang lebih membahahayakan lagi adalah jika orang-perorangan melakukan usaha outsourcing dapat disamakan dengan usaha perbudakan, orang dapat menjual orang. Sedangkan tujuan utama perusahaan penyedia jasa atau layanan outsourcing memiliki izin operasi adalah untuk memudahkan pengawasan pemerintah atas praktik outsourcing. Konstruksi hukum outsourcing dalam UUK tersebut sebenarnya sudah tepat. Bahkan, jika ketentuan-ketentuan yang dalam UUK itu ditaati, outsourcing tidak merugikan pekerja. Namun demikian, yang terjadi di lapangan adalah banyaknya penyimpangan dan penyalahgunaan outsourcing oleh perusahaan. Bentuk-bentuk penyalahgunaan outsourcing tersebut, antara lain, meng-outsourcing-kan pekerjaan utama kepada perusahaan outsourcing, perusahaan outsourcing tidak berbadan hukum, tidak didaftarkannya perjanjian outsourcing di dinas tenaga kerja, dan penyunatan upah pekerja oleh perusahaan outsourcing.
Penyimpangan pertama, banyaknya pekerjaan utama yang di-outsourcing-kan. Padahal, UUK sudah secara tegas melarang meng-outsourcing-kan pekerjaan utama. Betapa bisa kita lihat penyalahgunaan model itu, misalnya, perusahaan bank yang meng-outsourcing-kan pekerja teller dancollector kredit serta perusahaan manufaktur yang juga meng-outsourcing-kan pekerja-pekerja inti dari kegiatan manufaktur tersebut. Belum lama ini terjadi peristiwa yang mengenaskan. Yakni, nasabah kartu kredit sebuah bank ternama di Jakarta dianiaya di kantor bank oleh debt collector bank tersebut. Dan diduga, debt collector tersebut adalah pekerja sewaan (outsourcing). Kejadian pembakaran perusahaan di Drydock Batam adalah contoh yang lain akibat dari penyimpangan ketentuanoutsourcing (Jawa Pos, 19 Januari 2012).
Ada model penyimpangan lain. Pekerjaan utama di-outsourcing-kan dengan model secara halus (cerdas, tapi nakal), yaitu dengan menafsirkan semaunya sendiri tentang cakupan pekerjaan utama perusahaan. Perusahaan membuat daftar jenis-jenis kegiatan/pekerjaan yang ada dalam perusahaan, kemudian mengelompokkan sesuai dengan kepentingannya mana pekerjaan utama dan mana perkerjaan penunjang. Dalam daftar tersebut, banyak yang jenis kegiatan utama, tapi dimasukkan ke kelompok pekerjaan penunjang. Dan, anehnya, daftar yang dibuat perusahaan tersebut mendapat ''restu'' dari dinas tenaga kerja setempat. Memang, ada kelemahan dalam UUK yang tidak menegaskan batasan suatu kegiatan itu dikategorikan sebagai utama atau dan penunjang. UUK hanya menyatakan bahwa yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.
Penyimpangan kedua, banyak perusahaan outsourcing yang tidak memenuhi syarat. Misalnya, tidak berbadan hukum maupun tidak memiliki izin operasi. Modus penyimpangan itu adalah badan usaha yang tidak berbadan hukum, misalnya CV dan firma, ikut menjalankan usaha outsourcing.Banyak pula perusahaan outsourcing, meskipun sudah berbadan hukum, tidak memiliki izin operasi menjalankan usaha outsourcing. Ketiadaan izin operasi itu menyulitkan pengawasan oleh dinas tenaga kerja setempat. Sering terjadi perusahaan outsourcing abal-abal tersebut menghilang tanpa jejak ketika terjadi pelanggaran hak-hak normatif atas pekerja. Pekerja sulit menuntut hak-haknya setelah menjalankan semua kewajibannya.
Penyimpangan ketiga, terjadinya pemotongan upah pekerja oleh perusahaan outsourcing. Banyak terjadi upah para pekerja dipotong oleh perusahaan outsourcing. Padahal, perusahaanoutsourcing telah memperoleh management fee dari perusahaan pengguna. Yang lebih tragis lagi, jumlah upah setelah dipotong tersebut kurang dari ketentuan jumlah upah minimum. Itu jelas pelanggaran hukum perburuhan dan bahkan pelakunya bisa dipidana karena melakukan kejahatan pengupahan. Banyaknya penyalahgunaan outsourcing tersebut menambah panjang penderitan buruh/ pekerja di sektor formal. Namun demikian, minat buruh untuk bekerja melalui outsourcing tetap akan membeludak, mengingat minimnya kesempatan kerja jika dibandingkan dengan jumlah pekerja.
B.     Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari penjelasan di atas dapat diambil beberapa poin penting yaitu bahwa sebenarnya semangat yang ingin dibangun oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan outsourcing itu baik berdasarkan  penjelasan UUK yaitu memberi kemudahan pada perusahaan agar bisa merekrut pekerja yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan utama menggunakan sistem outsourcing. Namun, implementasinya banyak perusahaan yang kemudian menyimpang dari apa yang telah diatur dalam UUK misalnya: banyaknya pekerjaan utama yang di-outsourcing-kan. Padahal, UUK sudah secara tegas melarang meng-outsourcing-kan pekerjaan utama, banyak perusahaan outsourcing yang tak berbadan hukum, banyak pemotongan upah yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing.
Karena itu dalam hal ini penulis memberi rekomendasi yaitu jalan terbaik untuk mengatasi masalah tersebut adalah mengoptimalkan pengawasan dari pemerintah, dalam hal ini dilakukan dinas tenaga kerja setempat.Fungsi pengawasan pemerintah adalah untuk memastikan implementasi ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur outsourcing sesuai dengan perundang-undangan bidang hukum perburuhan. Sebab, yang menjadi akar masalah adalah bukan norma yang mengaturoutsourcing, melainkan masalah implementasinya. Ketentuan outsourcing dalam UUK sudah baik, hanya pengimplementasiannya yang disalahgunakan dan disimpangi oleh pengusaha.

Http://nasional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.Penghapusan.Outsourcing